Rabu, 02 Januari 2019

MALU


MALU
Oleh: Yenny Rahma


Waktu menunjukkan pukul 21:30 WIB. Sunyi. Sebenarnya sunyi jika tidak ada suara gemericik air keran yang terus mengalir karna bocor. Tubuhnya telentang. Matanya menatap langit-langit kamar berukuran 3x4 meter. Dia menghela napas. Memikirkan sesuatu. Sudah enam tahun Mila menjadi gadis rantau. Tapi tak ada perubahan baik pada hubungan antara dia dan ibunya. Pernahkah ia menghubungiku hanya sekedar sedang apa? Sudah makankah? Baik-baik sajakah? Hahaha sayangnya sampai saat ini tidak. Pikir Mila tentang ibunya. Beberapa kali meneleponpun karna si bungsu ingin bicara dengan Ceuceunya. Pernah satu saat Mila menghubungi ibunya. Percuma. Ibunya memang mengangkat telepon darinya, tapi tidak bicara. Sepatah katapun. Telepon itu langsung diberikan pada si bungsu. Kejam? Tak berperikeibuan? Hh! Entahlah. Nyinyir Mila bila teringat masa itu.
Mila terus menatap langit-langit kamar berukuran 4x5 meter. Beberapa menit memikirkan ini itu. Matanya menutup buka layu. Dan akhirnya terlelap.
“Pulanglah sebentar.” Suara itu mengejutkan Mila saat menunggu bus di salah satu halte. Mila menoleh ke arah suara itu datang. Tapi Mila tak menghiraukannya. Suara itu bukan berasal dari orang yang ia kenal. Ia tengok kanan dan kiri untuk memastikan bahwa disana tidak hanya ada dia dan wanita itu. Tapi disana memang hanya ada mereka. Mila kembali menoleh ke samping kanannya. Heran.
Bus yang Mila tunggu tiba. Menunggu penumpang yang turun, lalu bergegas masuk dalam bus. Tapi wanita itu tidak mengikutinya. Wanita paruh baya itu tetap di halte dan menghantar Mila dengan tatapannya.
…………..
“Din, tadi malam aku mimpi aneh.” Mila mengubah topik obrolan dengan temannya, Dinda. Yang sedaritadi terus membahas teman kenalan dunia mayanya.
“Apa?” obrolan Mila membuat Dinda segera menelan makanannya dan meminum es jeruknya agar tidak tersedak. Dinda sangat tertarik dengan topik itu. Dinda akan siap-siap untuk menebak alur mimpi itu di kehidupan nyata bak peramal.
Mila menceritakan mimpinya semalam. Tentang wanita paruh baya yang berdiri di samping kanannya. Wanita yang menyuruhnya untuk pulang walau sebentar.
“Hm, kapan terakhir kamu pulang Mil?” Dinda menyikapkan tangannya di atas meja dan menatap Mila serius.
Mila memainkan matanya untuk mengingat waktu ia terakhir pulang. “Tujuh bulan lalu kalau enggak salah.”
“Fiks! Kamu harus pulang Mil!”. Dinda mengadukan ibu jari dan jari tengahnya sambil menyatakan kesimpulan ramalannya.
Mila mengernyitkan dahi. Haruskah? Pikirnya.
“Ibumu apa kabar? Lita? Kamu enggak tahu kan?”
“Mereka baik-baik aja kok. Aku sering telepon Lita.”
“Ibumu?”
Mila hanya menarik napas. Tak yakin dengan yang akan dia sampaikan. “Kata Lita, baik-baik saja.” Dia menyenderkan tubuhnya di kursi. Lalu bangkit karna teringat tebakan temannya beberapa waktu lalu. “Tapi katamu mimpi itu kebalikan dari kenyataan.” Mila menyelidik temannya yang ia kenal sejak dua tahun silam.
“Hehehe... Bumi kan berputar Mil, hidup juga kadang jungkir kadang berdiri. Mimpi juga gitu.” Dinda membela kesimpulannya.
Mereka tertawa.
Suasana di laboratorium tempat Mila dan Dinda bekerja cukup sibuk hari ini. Para laboran lebih rajin membuka jurnal ilmiah dan buku-buku guide identifikasi bakteri. Beberapa hari belakangan, Mila dan timnya, termasuk Dinda sang ketua tim mendapat tugas untuk mengidentifikasi mikroorganisme dari sampel nanah yang ia terima dari petugas laboratorium.
“Ini sih Staphylococcus pyogenes. Tapi dia udah resisten. Makanya sebanyak apapun antibiotik oles yang pasien pakai, dia akan muncul lagi.” Dinda menyimpulkan.
“Terus harus diapakan Din?” Tanya salah satu anggota timnya.
“Antibiotiknya harus diganti jadi antibiotik cair.”
Diluar urusan pekerjaan, Dinda adalah tipe wanita yang sangat semangat mencari kenalan di dunia maya. Tapi kalau sudah masuk laboratorium, Dinda sangat serius, tapi santai. Mila sangat menyukai karakter ketua timnya itu.
Tugas mereka selesai. Mila menyemprotkan alkohol ke tangannya agar steril. 

Ddddrrrrrrrrrrttttttttt..... Dddrrrrrrrrrrrttttttt....
Bungsu
“Halo dek. Kenapa?”
“Ceuceu bisa pulang sekarang enggak?” Terdengar suara sedikit lirih disebrang sana.
“Memangnya ada apa dek?” Mila sangat heran dengan permintaan adiknya yang sangat mendadak ini. Seketika dia teringat permintaan yang sama dari adiknya dua hari kemarin. Hanya saja dia mengatakan pada adiknya bahwa dia belum bisa pulang karna hari liburnya masih dua hari yang akan datang.
“Lita kangen ya sama Ceuceu? Ceuceu juga kangen sama Lita. Nanti kalau sudah libur, Ceuceu menyempatkan pulang yah.” Mila membujuknya.
“Ibu?”
“Ibu?” Mila menanyakannya balik.
“Ceuceu enggak kangen sama Ibu?”
Mila terdiam.
“Ibu kangen sama Ceuceu. Tapi Ibu enggak berani bilang. Ceuceu pulang sekarang yah ceu.”
Ini ada apa? Kenapa Lita sangat tiba-tiba? Apa aku turuti permintaan Lita? Pikir Mila.
“Ceu?” Lita memecah diamnya.
“Memang ada apa sih dek? Kenapa adek paksa Ceuceu untuk pulang sekarang?” Dia benar-benar heran dengan adiknya.
Hening
“Dek?” Suara isak terdengar dari ponselnya. “Dek? Adek kenapa menangis? Dek?” Dia mulai risau.
“Ibu ceu. Ibu sakit lagi.” Isak tangis itu semakin mengkhawatirkan. “Lita mohon ceu. Ceuceu pulang sekarang.”
Telepon adiknya terputus. Lagi? Kalau begitu, sebelumnya Ibu pernah sakit? Sedangkan aku tidak tahu? Gumamnya.
“Kenapa Mil?”
“Sepertinya aku harus pulang sekarang juga Din.”
“Ada apa Mil? Kenapa mendadak?”
“Lita bilang Ibu sakit Din. Dari dua hari kemarin dia memang memintaku pulang, tapi dia enggak bilang kalau Ibu sakit. Walau sikap Ibu seperti yang kamu tahu, tapi aku benar-benar khawatir kali ini Din.” Ijin secara tak langsung itu diiyakan oleh Dinda. Dia mengerti situasinya. Dia tidak mempersulit permintaan Mila.
“Kamu hati-hati ya. Semoga Ibu kamu baik-baik aja.” Dinda memeluk rekannya yang ia jadikan asisten timnya.
Perjalanan kali ini membuat gadis berambut panjang itu teringat dengan kepulangannya tujuh bulan lalu. Sepeninggal bapaknya tahun lalu, membuatnya enggan untuk pulang. Jika saat ada Bapak aku bisa pulang dua bulan sekali, belakangan ini aku hanya pulang saat Lita benar-benar memohon. Seperti kali ini. Pikirnya.
Mila tidak dekat dengan ibunya. “Entah kenapa rasanya sulit untuk menceritakan segala hal padanya. Tapi mungkin saja itu tidak akan ku rasakan jika Ibu tidak muncul saat aku sudah beranjak dewasa. Dua puluh tahun aku hanya hidup dengan Bapak dan Lita. Ibu pergi meninggalkan Bapak dan aku saat usiaku satu tahun.” Kata Mila saat ia menceritakan hidupnya kepada Dinda.
“Mungkin Ibu tidak tahan hidup bersama Bapak yang hanya bekerja sebagai tukang becak, Nak. Penghasilan Bapak tidak cukup menutupi kebutuhan hidup kita bertiga. Apalagi untuk membeli susu Ceuceu.” Dia teringat cerita bapaknya saat dia menanyakan alasan ibunya pergi. Hatinya sakit saat itu. terlebih lagi bapaknya. Tak kuat dia membayangkan saat bapaknya bekerja keras mencari nafkah sekaligus mengurusinya. “Awalnya Ceuceu Bapak titipkan di rumah tetangga. Tapi hanya sampai Ceuceu umur 2 tahun. Ceuceu merengek selalu minta ikut kalau Bapak mau berangkat kerja.” Lanjut bapaknya. Sejenak terlihat senyum simpul dari sudut bibirnya. Mila menyeka air mata disudut mata besarnya.

Mila terus membayangkan kebersamaannya bersama bapaknya, Lita dan Ibu tirinya. Saat usianya 12 tahun, dia mendapat perlakuan sosok Ibu dari ibunya Lita. Saat itu Lita masih berusia 3 tahun. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi menyinggung tentang Ibu jika mengobrol dengan bapaknya. Dia bersyukur dan bahagia mempunyai tiga orang itu dihidupnya. Tapi kebahagiaannya sedikit sirna setelah Ibu tirinya meninggal karna maag kronis yang diderita. Saat itu usinya 18 tahun. Dan dua tahun sejak Ibu tirinya meninggal, ibunya datang menemui bapaknya untuk meminta maaf. Terlebih kepada Mila karna telah menelantarkannya saat dia benar-benar butuh asuhannya. Tentu Mila tak menerima begitu saja. Kedatangan ibunya mengembalikan ingatan masa-masa sulit bapaknya.
------------
Malam hari. Hampir enam jam perjalanan keretanya mengantarkan Mila ke depan rumah bercat biru muda milik bapaknya. Ada beberapa orang tetangga disana yang terlihat hendak merapikan meja dengan beberapa gelas berisikan ampas kopi. Dia melangkah masuk. Mila melihat tubuh wanita paruh baya berusia 50 tahun terbaring di kamar bersama gadis 15 tahun berambut ikal yang diikat satu sedang duduk disamping wanita itu. Tentu dia sangat heran dengan pemandangan di rumahnya.
Canggung. Mulutnya masih kaku untuk sekedar berkata “Ibu”. Mila mendekati Ibu dan adiknya.
“Ceuceu.” Lita beranjak dari tempat tidur untuk memeluknya. Keduanya saling memeluk erat seolah menyampaikan rasa rindu selama ini.
“Kenapa Ibu?” Mila membungkuk untuk menghapus air mata dipipi adiknya.
“Be-belakangan sakit jantung Ibu sering kambuh ceu. Biasanya ka-kalau kambuh lalu minum obat, Ibu langsung membaik. Tapi dua hari ini Ibu masih ngerasa sakit.” Tangisnya menyisakan senggukan saat Lita menceritakan keadaan ibunya.
Mila terdiam. Dia memandang wajah dan tubuh ibunya yang sedang terlelap karna efek samping dari obat yang ia minum.
Dia menoleh kepada adiknya, “tapi kenapa Ibu ataupun Lita enggak pernah bilang sama Ceuceu?” Dia mengusap pipinya yang basah.
“Ibu enggak mau buat Ceuceu khawatir. Ibu juga pernah bilang kalau Ibu malu.”
“Kenapa malu?”
“Ibu malu karna Ibu pernah tinggalkan Ceuceu.”
Lagi-lagi Mila terdiam. Dia kembali teringat masa itu. Ibunya yang bertahun-tahun tak pernah menanyakan kabar dia dan bapaknya, kini sedang terbaring lemah.
“Ibu ingin menebus kesalahan Ibu yang pernah tinggalkan Mila.” Katanya saat wanita paruh baya itu datang ke rumah yang sudah banyak renovasi sejak Mila merantau.
“Ibu yang pernah tinggalkan Ceuceu, tetap saja itu seorang Ibu Nak. Ingat Nak, kalau Ceuceu ingin dimuliakan Gusti Allah, Ceuceu harus memuliakan orangtua. Apalagi Ibu. Bapak sudah sangat memaafkan Ibu. Bapak tidak ingin ada kebencian untuk siapapun, apalagi orang yang pernah Bapak kasihi. Gusti Allah saja Maha Pemaaf juga Maha Penyayang. Ceuceu harus ingat itu Nak.” Seketika Mila ingat benar nasehat bapaknya dulu saat ia hendak menolak kedatangan ibunya. Demi ayahnya-lah Mila menerima ini semua.
Namun keadaan mereka tak seperti kebanyakan ibu dan anak. Kedekatan mereka seperti terbenteng dengan tembok besar. Percakapan mereka pun sebatas “ayok makan”, “Ibu tidur duluan”, atau “Mila tidak lapar”.
“Ibu selalu tanyakan kabar Ceuceu. Setiap kita mau makan, Ibu kepikiran Ceuceu sudah makan atau belum. Ibu ingin setiap hari telepon Ceuceu. Tapi Lita bilang kalau Ceuceu sibuk.”
“Tapi kenapa Ibu enggak pernah tanyakan langsung?”
“Ibu malu. Ibu malu pernah tinggalkan Ceuceu. Ibu selalu jawab seperti itu kalau Lita tanyakan hal yang sama. Ceuceu tahu? Setiap Lita telepon Ceuceu, Ibu selalu minta aktifkan pengeras suara agar Ibu bisa dengar suara Ceuceu. Ibu pernah ingin bicara dengan Ceuceu. Tapi Ibu enggak bisa. Ibu terlalu malu, katanya. Ibu sangat peduli dengan Ceuceu. Ibu enggak mau buat Ceuceu kerepotan. Makanya Ibu enggak pernah mau kalau Lita ajak ke dokter. Nanti juga sembuh sendiri, Ibu terus bilang seperti itu sama Lita. Sikap Ibu juga sama kepada Lita. Semenjak ada Ibu, Lita enggak sering sedih kalau ingat kepergian Ibu Lita. Lita tetap punya Ibu disini. Itu ibunya Ceuceu.”

Kata-kata adiknya membuat Mila berurai air mata. Ibunya tak seperti yang ia pikirkan selama ini. Dia menganggap bahwa ibunya tidak pernah peduli dengannya. Pernyataan rasa bersalah ibunya hanya ia anggap sebagai formalitas. Bahkan Mila pernah berpikir bahwa kedatangan ibunya hanya ingin harta dari bapaknya yang meninggalkan sawah puluhan hektare atas kerja keras bapaknya. Mila menangis memeluk ibunya. Rasa bersalahnya lebih besar dari kesalahan ibunya di masa lalu. 

Tangis Mila membangunkan mata besar sang Ibu. Dia tak bergumam sedikitpun. Wanita paruh baya itu melambaikan tangan kirinya kepada si bungsu sebagai isyarat untuk datang kepelukannya. Dia ingin memeluk kedua anaknya untuk sumber kekuatan agar dia kembali memeluk mereka di hari esok, esoknya lagi, dan esok-esok yang akan datang sampai dia dipertemukan kembali dengan suami dari putri-putrinya.
TAMAT

Kamis, 06 April 2017

on going



Dia Tak Kembali
Tidak sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku terpaku memandang selembar surat ditanganku. Kakiku lemah. Terjatuh ke sofa coklat di ruang depan rumah kami. Tetesan air mata mulai meninggalkan bekas dikertas yang ditujukan untukku itu. Mataku lelah. Sangat lelah. Dan akhirnya aku terlelap.

Tok tok tok..

Mataku terbuka mendengar suara ketukan pintu rumah kami. Aku berusaha mengangkat badanku untuk berjalan menghampiri sumber ketukan itu.

Tok tok tok
 “Mbak Kinan?”
“Iya sebentar.” Aku menjawab panggilan dari balik pintu.
“Bu Nunik. Ada apa bu pagi-pagi begini sudah mampir ke rumah?” Aku menyapanya sambil mengikat rambutku yang tergerai.
“Ini sudah siang mbak Kinan. Mbak Kinan lembur ya semalam?”
Mendengar ucapan tetanggaku itu, aku melihat ke arah jam dinding di dalam.
“Astaga! Maaf bu. Sepertinya semalam saya kelelahan.” Aku menebar senyum malu.

Bu Nunik adalah tetangga yang sangat baik. Dia sudah aku anggap seperti ibuku sendiri, karna usianya mungkin sebaya dengan ibuku.
Siang itu dia memberikan satu kotak besar. Katanya titipan dari seorang laki-laki yang tadi pagi datang ke rumahku. Laki-laki? Pikirku.
“Oh, terimakasih bu.”
“Mbak Kinan habis menangis?” Bu Nunik menyadari mataku yang sembab.
“Oh, ada kabar buruk semalam. Tapi bukan apa-apa bu.” Aku tersenyum.

Bu Nunik tak bertanya apapun. Dia membalas senyumku lalu melangkah pergi. Aku menutup pintu dan membawa kotak besar itu ke dalam. Ternyata kotak ini datang dari kantor kepolisian pusat. Lagi-lagi aku terdiam. Aku tak membukanya karna aku tahu benda apa yang ada di dalam kotak itu.
“Ini tidak benar. Mereka keliru. Ini tidak mungkin terjadi. Aku percaya pada ucapannya. Dan akan selalu percaya.” Aku berbicara sendiri dengan kegelisahanku.

Aku hendak membersihkan diri, membersihkan rumah seperti biasa setelah tiga bulan lalu kami tinggal disini. Rumah ini adalah rumah yang tak besar. Tapi aku suka. Aku merasa nyaman berada disini. Apalagi bersama dia yang tiga bulan lalu mengucap janji bersamaku.
Ponselku berdering. Aku melihat nama Kakak di layar ponselku.
“Iya Kak?” aku memulai percakapan.
Aku mendengar isak tangis darisana. Kakakku meminta aku bersabar. Dia menyuruhku pindah bersamanya.
“Kenapa Kinan harus pindah ka?” Aku menghapus air mata yang keluar dari sudut mataku.
“Kamu akan benar-benar sendiri disana Kinan. Tinggalah disini.”
Apa maksudnya? Benar-benar sendiri? Siapa yang sendiri? Aku tak merasa sendiri disini. Pikirku.
“Ka, sudah dulu ya. Nanti Kinan hubungi kakak lagi.” Aku menutup perbincangan dengannya. Entah apa yang aku rasakan dan aku pikirkan saat ini.

Aku membiarkan kotak besar itu tergeletak di atas meja tanpa ingin aku buka. Aku memutuskan untuk pergi keluar. Aku akan pergi ke satu tempat yang menjadi tempat favorit kami. Untuk merayakan tiga bulan pernikahan kami. Aku melangkah keluar dengan girangnya.
“Mbak Kinan, mau kemana?”
Aku menengok ke arah suara itu datang saat aku hendak membuka pintu mobil kami. Aku tersenyum, “pergi sebentar bu.”
“Hati-hati mbak Kinan.” Bu Nunik mengkhawatirkanku. Dia memang seperti ibuku. Selalu mengkhawatirkan anaknya saat hendak bepergian.

Mobil kami melaju dengan kecepatan sedang. Aku tak pernah mengemudikan mobil kami dengan kecepatan di atas 40 km/jam. Seketika aku teringat pesannya. Sebelum aku menikahimu, kamu sangat senang ngebut bukan? Setelah aku menikahimu, jangan pernah begitu lagi. Kamu harus menjaga perasaanku untuk tidak ingin terjadi apapun denganmu. Oke? Aku tersenyum mengingat kalimat itu. Namun seketika aku merasa ada tetesan air mengalir dari sudut mataku.

Sepanjang perjalanan, aku merasa risi dengan ponselku yang terus berdering. Tumben sekali ponselku sangat ramai memunculkan pesan demi pesan yang aku lihat berasal dari orang yang berbeda. Aku mengabaikannya. Aku tetap fokus dengan perjalananku.
Seketika aku teringat kembali pesannya saat kami pergi ke rumah sakit untuk kontrol kesehatan paru-parunya. Saat itu aku yang ambil kemudi. Mengingat kesehatannya yang sedikit tidak membaik. Aku mendapat banyak sekali pesan di ponselku saat itu. Aku hendak mengambil ponselku tapi tangannya sangat cepat meraih ponselku lebih dulu. Dia tersenyum. fokus nyetir! Kalau mau baca, berhenti dulu nyetirnya. Seketika aku luluh. Entah kenapa kalimatnya sangat lembut sekali ditelingaku.

Ingatan itu membuatku memutuskan untuk menghentikan kemudiku di bahu jalan. Aku terisak. Entah kenapa aku benar-benar sesak. Dadaku sakit. Air mataku mengalir begitu saja. Aku tak percaya dengan yang aku alami saat ini. Aku benar-benar tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi padaku. Apalagi dengan waktu yang sangat-sangat singkat bagiku.

Tak sengaja aku melihat papan iklan besar sekali disebrang jalan. Iklan itu memaparkan berita kematian seorang detektif dari kantor kepolisian pusat yang mayatnya ditemukan di hilir sungai setelah dua minggu lalu menghilang saat melakukan tugasnya. Aku melihatnya. Aku melihatnya terpampang dipapan iklan besar itu. Aku melihat senyum indahnya. Lagi-lagi napasku sesak. Dadaku terasa sangat sakit. tubuhku benar-benar lemas kali ini. Aku kehilangan kesadaranku.

Perlahan aku membuka kedua mataku. Aku melihat ke sekelilingku.
“Kak?” aku menangis. Entah kenapa sangat mudah sekali aku menangis.
“Mas Dian, Kak.” Mulutku bergetar. Kak Sinta mengusap kepalaku. Dia ikut menangis.
“Dian sudah tenang disana Ki.” Mas Lucky yang datang bersama Kak Sinta menasehatiku.
Aku terdiam. Aku memejamkan mata. Aku tak tertidur. Aku hanya mencoba menenangkan diriku. Saatku terpejam, kalimat-kalimat di selembar kertas yang ku baca semalam muncul di otakku. Kalimat itu menegaskan bahwa dia sungguh telah meninggal.
Tak terasa air mata keluar dari sudut mataku. Lagi-lagi aku terisak. Aku benar-benar menangisi kepergian Mas Dian. Suamiku tercinta, yang benar-benar pergi untuk selamanya.