MALU
Oleh: Yenny Rahma
Waktu menunjukkan pukul 21:30 WIB. Sunyi. Sebenarnya sunyi jika tidak ada suara gemericik air keran yang terus mengalir karna bocor. Tubuhnya telentang. Matanya menatap langit-langit kamar berukuran 3x4 meter. Dia menghela napas. Memikirkan sesuatu. Sudah enam tahun Mila menjadi gadis rantau. Tapi tak ada perubahan baik pada hubungan antara dia dan ibunya. Pernahkah ia menghubungiku hanya sekedar sedang apa? Sudah makankah? Baik-baik sajakah? Hahaha sayangnya sampai saat ini tidak. Pikir Mila tentang ibunya. Beberapa kali meneleponpun karna si bungsu ingin bicara dengan Ceuceunya. Pernah satu saat Mila menghubungi ibunya. Percuma. Ibunya memang mengangkat telepon darinya, tapi tidak bicara. Sepatah katapun. Telepon itu langsung diberikan pada si bungsu. Kejam? Tak berperikeibuan? Hh! Entahlah. Nyinyir Mila bila teringat masa itu.
Mila
terus menatap langit-langit kamar berukuran 4x5 meter. Beberapa menit
memikirkan ini itu. Matanya menutup buka layu. Dan akhirnya terlelap.
“Pulanglah
sebentar.” Suara itu mengejutkan Mila saat menunggu bus di salah satu halte. Mila
menoleh ke arah suara itu datang. Tapi Mila tak menghiraukannya. Suara itu
bukan berasal dari orang yang ia kenal. Ia tengok kanan dan kiri untuk
memastikan bahwa disana tidak hanya ada dia dan wanita itu. Tapi disana memang
hanya ada mereka. Mila kembali menoleh ke samping kanannya. Heran.
Bus
yang Mila tunggu tiba. Menunggu penumpang yang turun, lalu bergegas masuk dalam
bus. Tapi wanita itu tidak mengikutinya. Wanita paruh baya itu tetap di halte
dan menghantar Mila dengan tatapannya.
…………..
“Din,
tadi malam aku mimpi aneh.” Mila mengubah topik obrolan dengan temannya, Dinda.
Yang sedaritadi terus membahas teman kenalan dunia mayanya.
“Apa?”
obrolan Mila membuat Dinda segera menelan makanannya dan meminum es jeruknya
agar tidak tersedak. Dinda sangat tertarik dengan topik itu. Dinda akan
siap-siap untuk menebak alur mimpi itu di kehidupan nyata bak peramal.
Mila
menceritakan mimpinya semalam. Tentang wanita paruh baya yang berdiri di
samping kanannya. Wanita yang menyuruhnya untuk pulang walau sebentar.
“Hm,
kapan terakhir kamu pulang Mil?” Dinda menyikapkan tangannya di atas meja dan
menatap Mila serius.
Mila
memainkan matanya untuk mengingat waktu ia terakhir pulang. “Tujuh bulan lalu
kalau enggak salah.”
“Fiks!
Kamu harus pulang Mil!”. Dinda mengadukan ibu jari dan jari tengahnya sambil
menyatakan kesimpulan ramalannya.
Mila
mengernyitkan dahi. Haruskah?
Pikirnya.
“Ibumu
apa kabar? Lita? Kamu enggak tahu kan?”
“Mereka
baik-baik aja kok. Aku sering telepon Lita.”
“Ibumu?”
Mila
hanya menarik napas. Tak yakin dengan yang akan dia sampaikan. “Kata Lita,
baik-baik saja.” Dia menyenderkan tubuhnya di kursi. Lalu bangkit karna
teringat tebakan temannya beberapa waktu lalu. “Tapi katamu mimpi itu kebalikan
dari kenyataan.” Mila menyelidik temannya yang ia kenal sejak dua tahun silam.
“Hehehe...
Bumi kan berputar Mil, hidup juga kadang jungkir kadang berdiri. Mimpi juga gitu.” Dinda membela kesimpulannya.
Mereka
tertawa.
Suasana
di laboratorium tempat Mila dan Dinda bekerja cukup sibuk hari ini. Para
laboran lebih rajin membuka jurnal ilmiah dan buku-buku guide identifikasi bakteri. Beberapa hari belakangan, Mila dan
timnya, termasuk Dinda sang ketua tim mendapat tugas untuk mengidentifikasi mikroorganisme
dari sampel nanah yang ia terima dari petugas laboratorium.
“Ini
sih Staphylococcus pyogenes. Tapi dia
udah resisten. Makanya sebanyak apapun antibiotik oles yang pasien pakai, dia
akan muncul lagi.” Dinda menyimpulkan.
“Terus
harus diapakan Din?” Tanya salah satu anggota timnya.
“Antibiotiknya
harus diganti jadi antibiotik cair.”
Diluar
urusan pekerjaan, Dinda adalah tipe wanita yang sangat semangat mencari kenalan
di dunia maya. Tapi kalau sudah masuk laboratorium, Dinda sangat serius, tapi
santai. Mila sangat menyukai karakter ketua timnya itu.
Tugas
mereka selesai. Mila menyemprotkan alkohol ke tangannya agar steril.
Ddddrrrrrrrrrrttttttttt.....
Dddrrrrrrrrrrrttttttt....
Bungsu
“Halo
dek. Kenapa?”
“Ceuceu
bisa pulang sekarang enggak?” Terdengar suara sedikit lirih disebrang sana.
“Memangnya
ada apa dek?” Mila sangat heran dengan permintaan adiknya yang sangat mendadak
ini. Seketika dia teringat permintaan yang sama dari adiknya dua hari kemarin.
Hanya saja dia mengatakan pada adiknya bahwa dia belum bisa pulang karna hari
liburnya masih dua hari yang akan datang.
“Lita
kangen ya sama Ceuceu? Ceuceu juga kangen sama Lita. Nanti kalau sudah libur, Ceuceu
menyempatkan pulang yah.” Mila membujuknya.
“Ibu?”
“Ibu?”
Mila menanyakannya balik.
“Ceuceu
enggak kangen sama Ibu?”
Mila
terdiam.
“Ibu
kangen sama Ceuceu. Tapi Ibu enggak berani bilang. Ceuceu pulang sekarang yah
ceu.”
Ini ada apa? Kenapa Lita sangat
tiba-tiba? Apa aku turuti
permintaan Lita? Pikir Mila.
“Ceu?”
Lita memecah diamnya.
“Memang
ada apa sih dek? Kenapa adek paksa Ceuceu untuk pulang sekarang?” Dia
benar-benar heran dengan adiknya.
Hening
“Dek?”
Suara isak terdengar dari ponselnya. “Dek? Adek kenapa menangis? Dek?” Dia
mulai risau.
“Ibu
ceu. Ibu sakit lagi.” Isak tangis itu semakin mengkhawatirkan. “Lita mohon ceu.
Ceuceu pulang sekarang.”
Telepon
adiknya terputus. Lagi? Kalau begitu,
sebelumnya Ibu pernah sakit? Sedangkan aku tidak tahu? Gumamnya.
“Kenapa
Mil?”
“Sepertinya
aku harus pulang sekarang juga Din.”
“Ada
apa Mil? Kenapa mendadak?”
“Lita
bilang Ibu sakit Din. Dari dua hari kemarin dia memang memintaku pulang, tapi
dia enggak bilang kalau Ibu sakit. Walau sikap Ibu seperti yang kamu tahu, tapi
aku benar-benar khawatir kali ini Din.” Ijin secara tak langsung itu diiyakan
oleh Dinda. Dia mengerti situasinya. Dia tidak mempersulit permintaan Mila.
“Kamu
hati-hati ya. Semoga Ibu kamu baik-baik aja.” Dinda memeluk rekannya yang ia
jadikan asisten timnya.
Perjalanan
kali ini membuat gadis berambut panjang itu teringat dengan kepulangannya tujuh
bulan lalu. Sepeninggal bapaknya tahun lalu, membuatnya enggan untuk pulang. Jika saat ada Bapak aku bisa pulang dua
bulan sekali, belakangan ini aku hanya pulang saat Lita benar-benar memohon.
Seperti kali ini. Pikirnya.
Mila
tidak dekat dengan ibunya. “Entah kenapa rasanya sulit untuk menceritakan
segala hal padanya. Tapi mungkin saja itu tidak akan ku rasakan jika Ibu tidak
muncul saat aku sudah beranjak dewasa. Dua puluh tahun aku hanya hidup dengan Bapak
dan Lita. Ibu pergi meninggalkan Bapak dan aku saat usiaku satu tahun.” Kata
Mila saat ia menceritakan hidupnya kepada Dinda.
“Mungkin
Ibu tidak tahan hidup bersama Bapak yang hanya bekerja sebagai tukang becak,
Nak. Penghasilan Bapak tidak cukup menutupi kebutuhan hidup kita bertiga.
Apalagi untuk membeli susu Ceuceu.” Dia teringat cerita bapaknya saat dia
menanyakan alasan ibunya pergi. Hatinya sakit saat itu. terlebih lagi bapaknya.
Tak kuat dia membayangkan saat bapaknya bekerja keras mencari nafkah sekaligus
mengurusinya. “Awalnya Ceuceu Bapak titipkan di rumah tetangga. Tapi hanya
sampai Ceuceu umur 2 tahun. Ceuceu merengek selalu minta ikut kalau Bapak mau
berangkat kerja.” Lanjut bapaknya. Sejenak terlihat senyum simpul dari sudut
bibirnya. Mila menyeka air mata disudut mata besarnya.
Mila
terus membayangkan kebersamaannya bersama bapaknya, Lita dan Ibu tirinya. Saat usianya
12 tahun, dia mendapat perlakuan sosok Ibu dari ibunya Lita. Saat itu Lita
masih berusia 3 tahun. Sejak saat itu dia tidak pernah lagi menyinggung tentang
Ibu jika mengobrol dengan bapaknya. Dia bersyukur dan bahagia mempunyai tiga
orang itu dihidupnya. Tapi kebahagiaannya sedikit sirna setelah Ibu tirinya
meninggal karna maag kronis yang diderita. Saat itu usinya 18 tahun. Dan dua
tahun sejak Ibu tirinya meninggal, ibunya datang menemui bapaknya untuk meminta
maaf. Terlebih kepada Mila karna telah menelantarkannya saat dia benar-benar
butuh asuhannya. Tentu Mila tak menerima begitu saja. Kedatangan ibunya
mengembalikan ingatan masa-masa sulit bapaknya.
------------
Malam
hari. Hampir enam jam perjalanan keretanya mengantarkan Mila ke depan rumah
bercat biru muda milik bapaknya. Ada beberapa orang tetangga disana yang
terlihat hendak merapikan meja dengan beberapa gelas berisikan ampas kopi. Dia
melangkah masuk. Mila melihat tubuh wanita paruh baya berusia 50 tahun terbaring
di kamar bersama gadis 15 tahun berambut ikal yang diikat satu sedang duduk
disamping wanita itu. Tentu dia sangat heran dengan pemandangan di rumahnya.
Canggung.
Mulutnya masih kaku untuk sekedar berkata “Ibu”. Mila mendekati Ibu dan
adiknya.
“Ceuceu.”
Lita beranjak dari tempat tidur untuk memeluknya. Keduanya saling memeluk erat
seolah menyampaikan rasa rindu selama ini.
“Kenapa
Ibu?” Mila membungkuk untuk menghapus air mata dipipi adiknya.
“Be-belakangan
sakit jantung Ibu sering kambuh ceu. Biasanya ka-kalau kambuh lalu minum obat, Ibu
langsung membaik. Tapi dua hari ini Ibu masih ngerasa sakit.” Tangisnya
menyisakan senggukan saat Lita menceritakan keadaan ibunya.
Mila
terdiam. Dia memandang wajah dan tubuh ibunya yang sedang terlelap karna efek
samping dari obat yang ia minum.
Dia
menoleh kepada adiknya, “tapi kenapa Ibu ataupun Lita enggak pernah bilang sama
Ceuceu?” Dia mengusap pipinya yang basah.
“Ibu
enggak mau buat Ceuceu khawatir. Ibu juga pernah bilang kalau Ibu malu.”
“Kenapa
malu?”
“Ibu
malu karna Ibu pernah tinggalkan Ceuceu.”
Lagi-lagi
Mila terdiam. Dia kembali teringat masa itu. Ibunya yang bertahun-tahun tak
pernah menanyakan kabar dia dan bapaknya, kini sedang terbaring lemah.
“Ibu
ingin menebus kesalahan Ibu yang pernah tinggalkan Mila.” Katanya saat wanita
paruh baya itu datang ke rumah yang sudah banyak renovasi sejak Mila merantau.
“Ibu yang pernah tinggalkan Ceuceu, tetap saja itu seorang Ibu Nak. Ingat Nak,
kalau Ceuceu ingin dimuliakan Gusti Allah, Ceuceu harus memuliakan orangtua. Apalagi
Ibu. Bapak sudah sangat memaafkan Ibu. Bapak tidak ingin ada kebencian untuk siapapun,
apalagi orang yang pernah Bapak kasihi. Gusti Allah saja Maha Pemaaf juga Maha
Penyayang. Ceuceu harus ingat itu Nak.” Seketika Mila ingat benar nasehat
bapaknya dulu saat ia hendak menolak kedatangan ibunya. Demi ayahnya-lah Mila
menerima ini semua.
Namun keadaan mereka tak seperti kebanyakan ibu dan anak.
Kedekatan mereka seperti terbenteng dengan tembok besar. Percakapan mereka pun
sebatas “ayok makan”, “Ibu tidur duluan”, atau “Mila tidak lapar”.
“Ibu
selalu tanyakan kabar Ceuceu. Setiap kita mau makan, Ibu kepikiran Ceuceu sudah
makan atau belum. Ibu ingin setiap hari telepon Ceuceu. Tapi Lita bilang kalau Ceuceu
sibuk.”
“Tapi
kenapa Ibu enggak pernah tanyakan langsung?”
“Ibu
malu. Ibu malu pernah tinggalkan Ceuceu. Ibu selalu jawab seperti itu kalau
Lita tanyakan hal yang sama. Ceuceu tahu? Setiap Lita telepon Ceuceu, Ibu
selalu minta aktifkan pengeras suara agar Ibu bisa dengar suara Ceuceu. Ibu
pernah ingin bicara dengan Ceuceu. Tapi Ibu enggak bisa. Ibu terlalu malu,
katanya. Ibu sangat peduli dengan Ceuceu. Ibu enggak mau buat Ceuceu kerepotan.
Makanya Ibu enggak pernah mau kalau Lita ajak ke dokter. Nanti juga sembuh
sendiri, Ibu terus bilang seperti itu sama Lita. Sikap Ibu juga sama kepada
Lita. Semenjak ada Ibu, Lita enggak sering sedih kalau ingat kepergian Ibu
Lita. Lita tetap punya Ibu disini. Itu ibunya Ceuceu.”
Kata-kata
adiknya membuat Mila berurai air mata. Ibunya tak seperti yang ia pikirkan
selama ini. Dia menganggap bahwa ibunya tidak pernah peduli dengannya.
Pernyataan rasa bersalah ibunya hanya ia anggap sebagai formalitas. Bahkan Mila
pernah berpikir bahwa kedatangan ibunya hanya ingin harta dari bapaknya yang
meninggalkan sawah puluhan hektare atas kerja keras bapaknya. Mila menangis
memeluk ibunya. Rasa bersalahnya lebih besar dari kesalahan ibunya di masa
lalu.
Tangis
Mila membangunkan mata besar sang Ibu. Dia tak bergumam sedikitpun. Wanita
paruh baya itu melambaikan tangan kirinya kepada si bungsu sebagai isyarat
untuk datang kepelukannya. Dia ingin memeluk kedua anaknya untuk sumber
kekuatan agar dia kembali memeluk mereka di hari esok, esoknya lagi, dan
esok-esok yang akan datang sampai dia dipertemukan kembali dengan suami dari
putri-putrinya.
TAMAT